Cerita Cinta Orang Kaya Pura Pura Miskin
Pada kesempatan kali ini kita akan berbagi cerpen tentang kisah cinta orang kaya pura pura miskin. Seperti apa ceritanya? silahkan simak dan nikmati setiap cerita yang terkandung pada tulisan dibawah ini.
Mentari perlahan merangkak turun ketika Dion menepikan motor Astrea-nya di dekat pohon beringin. Setelah itu, dia turun, tak lupa melepas helm berstiker Spongebob. Cahaya jingga menyiram sisi kiri tubuh jangkungnya yang dibalut kaus oblong warna abu-abu, menciptakan siluet dan mempertegas pahatan-pahatan di wajah tegasnya.
Langkah Dion lebar, tetapi tidak terlalu cepat dan seperti berkekuatan besar sehingga menyedot perhatian anak-anak yang sedang membaca buku di Rumah Membaca kami, aku pun ikut-ikutan menoleh untuk mempertemukan pandangan dengan si pemilik manik sehitam jelaga tersebut.
“Kak Dion!” anak-anak serempak menggaungkan namanya, lantas menghambur, meninggalkan buku-buku yang berserak dengan halaman terbuka.
“Hai, semuanya!” Dion memasang wajah bersalah sebelum melengkungkan senyum manakala melihatku mendekat.
“Kamu telat,” kataku seraya bersedekap. Kemudian, segera memalingkan muka ke arah lain untuk menghindari tatapannya.
“Sorry, ya. Tadi ada urusan sedikit.” Dion menjelaskan. Aku tahu, itu adalah alasan klasik tiapkali dia terlambat.
Mungkin Anda Suka - Cerita Cinta Jarak Jauh Menyakitkan Hati
Akan tetapi, anak-anak berbaju kumal itu tampak tidak terlalu peduli, dan tetap mengerubungi Dion. Mereka mulai berceloteh entah tentang apa dan tentu saja, Dion selalu menjawabnya dengan senang hati. Melihat itu, membuat mataku sedikit memanas. Ada semacam ketenangan yang menghuni dadaku tatkala menyaksikan keakrabannya dengan anak-anak di pemukiman kumuh di pinggir kota ini. Dan kedamaian itu entah mengapa menghantarkanku pada memori lima tahun silam.
Sebenarnya, itu perjumpaan tanpa sengaja. Aku baru pulang dari Rumah Membaca ketika hujan mengguyur tanpa permisi. Mau tak mau aku pun berteduh di sebuah halte. Aku tidak sendirian, ada seorang cowok di sana, memakai baju kaus dan celana jeans yang sobek di bagian lutut, dia duduk sembari menatap milyaran air yang mengecupi Bumi. Mulanya, kukira dia sosok yang jahat. Namun, aku keliru. Sebab, setelah itu kami malah mengobrol hangat. Apalagi setelah mengetahui bahwa dia ternyata pecinta buku.
Dion orang yang sangat ramah lagi bersahaja, baik dari sisi penampilan maupun tutur kata. Kemanapun pergi, Dion selalu memakai kaus lengan pendek dan sandal jepit swallow merah. Dia juga senantiasa ditemani motor Honda Astrea yang baut KB-nya copot sebelah dan joknya sedikit sobek di bagian ujung. Pernah suatu hari, aku menyuruhnya mengganti jok dengan yang baru agar dia tidak kebasahan bila musim hujan datang. Akan tetapi, jawaban Dion membuatku kehabisan kata-kata.
“Aku lebih senang membelanjakan uang kerja kerasku untuk hal-hal bermanfaat, Na.” Begitulah kira-kira yang dia ucapkan. Aku hanya diam mendengarnya, dan diamku tanpa dicegah menghantarkan getaran rasa yang mendebarkan. Begitu juga yang terjadi dengan Dion.
****
Aku berdiri di samping pohon beringin, bersisian dengan Dion. Anak-anak telah pulang ke rumah masing-masing lima belas menit yang lalu dan itu kami manfaatkan untuk menikmati senja yang kian menua. Memandang semburat merah dan jingga dari sini sungguh berbeda.
“Makan, yuk,” tawar Dion menyodorkan helm padaku.
“Ke tempat yang biasanya?” tanyaku sedikit gugup. Terlebih ketika mataku tak sengaja menangkap senyum manisnya itu.
Cowok jangkung itu terkekeh. “Bukan, ikut aja. Dijamin ga nyesel!” ungkapnya seraya mengedipkan sebelah matanya.
*****
Dion menepikan motor di dekat padagang kaki lima. Aroma kaldu sapi menjajah indera penciuman, membuat perutku seketika mengumandangkan suara lapar. Segera saja aku turun dan menyusul Dion.
“Sini aja, Na,” titah Dion seraya menarik kursi plastik untukku. Setelah itu, dia menghampiri pria paruh baya dengan handuk tersampir di bahu. Terdengar suara Dion saat memesan dua mangkok bakso dan teh botol.
“Bakso Kang Ujang enak banget loh, Na. Makanya aku ngajak kamu ke sini.” Dion berkata mantap.
Sementara, aku hanya terkikik kecil kemudian mengalihkan pandangan ke kiri. Dion memang selalu bisa mencairkan suasana. Itu membuat rasa di dada kian membiak, membelukar dengan cepat. Apalagi ketika Dion bilang ke Kang Ujang kalau aku calon isterinya.
“Na, kamu malu gak punya pacar kayak aku?” tanya Deon begitu pesanan sampai.
Aku yang hendak menuangkan kecap ke mangkok, seketika berhenti dan menoleh ke arahnya.
“Kamu kok ngomong begitu?”
Deon hanya terkekeh, gigi putihnya berbaris merata. “Ya, kali aja kamu malu. Secara, aku ‘kan selalu bawa motor butut ke mana-mana.” Samar, dapat kutangkap kesan percampuran sinis dan sedih di wajah tegas tersebut.
“Terus, kamu juga berasal dari keluarga berada.”
“Yang kaya, ‘kan, keluargaku. Bukan aku.” Kuhela napas panjang. “Lagian aku cinta karena kamu punya attitude baik, kok—eh?” segera kubekap mulut dengan kedua tangan. Sedangkan Dion di sebelah, asik terpingkal-pingkal.
“Aku juga, Na.”
Sialan, wajahku terasa panas dibuatnya. “B-bukan itu—“
Tak ingin aku terlalu lama menahan malu, Dion memotong cepat. “Ya udah, sekarang kita fokus makan. Abis itu, aku antar kamu pulang, ya.”
*****
Sepanjang perjalanan, aku hanya membisu dengan sekujur tubuh membeku bagai dihantam badai salju. Sedangkan Dion tetap bersikap seperti biasa bahkan ketika tiba di depan rumahku.
“M-makasih,” kuserahkan helm padanya. Namun, kutarik kembali sebelum dia berhasil meraihnya. “Kapan ketemu Ibu dan Bapak?”
Dion mengusap puncak kepalaku lembut. “Kalau sudah waktunya nanti, aku pasti datang.” Setelah itu, pria berhidung tinggi dengan pandangan yang dalam itu pun pamit. Deru motornya lenyap begitu berbelok ke luar gang.
“Cie ... yang diantar sama Mas Astrea.”
Aku berdecih pelan, lalu membalikkan badan. Mempertemukan pandang pada Kak Friska yang berdiri di ambang pintu.
“Kamu mau gak kukenalin ke bosnya pacarku? Dia masih muda, kok, Na—“
“Dengar ya, Kak Fris.” Kutekan tiap kata yang keluar. “Daripada ngurusin takdir orang, mending Kakak fokus ke Alex yang tukang selingkuh itu.” Usai berujar demikian, kuhentakkan kaki masuk ke rumah, bunyinya menggema seakan-akan menggambarkan segala emosi yang berjejalan di kepala.
Memang, sudah beberapa kali Kak Fris menyuruhku untuk berkenalan dengan teman-temannya yang katanya kaya dan punya potensi untuk membahagiakan tujuh turunan. Namun, aku entah mengapa tidak pernah tertarik dengan hal tersebut.
“Kamu itu udah 24 loh, Na. Bentar lagi memasuki zona siaga 1. Nanti malah jadi perawan tua,” susul Kak Friska di belakang.
Artikel Lainnya - Cerita Cinta Tak Terbalas, PHP Saja Sedih
Entah sejak kapan Bapak sudah duduk di kursi sembari membaca buku, bersuara. “Laki-laki itu yang dipegang adalah omongannya, Na. Bapak hanya ingin melihat seberapa serius dia sama kamu. Bapak enggak terlalu mempermasalahkan latar belakang pekerjaannya. Tapi, sebagai orang tua, bapak ingin kamu hidup berkecukupan.”
Perkataan Bapak seperti mengaduk-aduk perutku dengan cepat, membuat bakso yang dimakan tadi seolah hendak melesak keluar. Kutelan ludah lamat-lamat. “Nana pasti bawa Dion ke sini, Pak.”
“Bagus,” ujar Bapak. “Kalo dia ga mau, kamu bapak jodohkan ke temannya friska minggu ini.”
Aku merasa kepalaku melayang.
*****
Berhari-hari aku dirundung gelisah. Batinku nelangsa, kegiatan Rumah Membaca berubah menjadi rutinitas hampa yang membosankan. Kehadiran Dion juga tidak banyak membantu ketenangan. Yang ada malah kian menjadi.
Jadi, kuputuskan untuk mendesaknya—tentu dengan sedikit ancaman klise bahwa aku akan dijodohkan dengan pria kaya minggu ini jika Dion tidak segera datang ke rumah ‘tuk menghadap Bapak.
Tapi, lagi-lagi jawaban yang kudapat hanya nanti. Nanti. Nanti.
“Kamu percaya sama aku, ‘kan, Na?” tanya Dion.
Aku mengangguk cepat. Berusaha mengenyahkan setitik keraguan di hati. Kami telah saling mengenal selama bertahun-tahun. Jadi, perihal percaya adalah benda penting yang dipegang kuat-kuat.
****
Aku meremas-remas gamis mocca yang membalut tubuh. Pandanganku tertunduk pada teh di dalam cangkir yang tampaknya mulai mendingin, terlihat dari semakin menipisnya uap yang tadi menari-nari. Sekujur tubuhku dibanjiri keringat dingin. Sedangkan kesepuluh jemari gemetaran, memencet layar ponsel tak sabar. Sejak tiga hari yang lalu, Dion bagai ditelan Bumi. Ke semua media sosialnya tidak aktif, membuatku dirundung gelisah setengah mampus!
“Oke-oke, kami tunggu ya, Pak.” Kak Friska mengangguk-angguk, sebelum menutup teleponnya.
“Gimana, Fris?” tanya Ibu dan Bapak serempak.
Kak Friska tersenyum lebar. “Udah masuk gang. Bentar lagi nyampe.” Kemudian, gadis yang setahun lebih tua dariku itu mendekat.
Aku berpura-pura sibuk menghubungi nomor Dion yang sialnya selalu berada di luar jangkauan.
“Udah, Na. Ikhlasin aja. Kakak jamin, kamu bakalan bahagia sama bos kakak ini. Dia baik, terus soleh, bos besar lagi. Paket komplit, deh.”
Lanjut Baca - Cerita Cinta Masa SMP Tak Terbalaskan
Belum sempat menyanggah, aku terkejut mendengar suara-suara mobil di depan rumah. Kak Friska dan kedua orang tua kami segera berjalan ke luar. Meninggalkanku yang memucat. Haruskah aku diam-diam lari dan menyusul Dion di kosannya? Ah, tidak. Itu namanya cari mati!
Aku terlalu sibuk dengan berbagai spekulasi sehingga tidak sadar kalau orang yang akan dijodohkan itu ternyata sudah berdiri tepat di hadapanku. Kuulangi, tepat di hadapanku!
“Ahem,”
Perlahan, aku mendongak kaku. Bagai mesin berkarat yang kekurangan pelumas.
“DION?!” sepasang mata sehitam jelaga milikku membeliak menatap sosok yang begitu memesona dengan tuksedo hitam dan tatapan teduh.
“Surprise,” katanya menyeringai kecil.
“Loh? Bapak kenal adik saya?” tanya kak Friska sembari mengernyitkan dahi.
Dion mengangguk. “Sudah sejak lama.” Dia menekankan kosa kata terakhir.
“Jadi kamu selama ini bohongin aku?!” pekikku dengan mata berkaca-kaca. Dion seketika terkekeh, sedangkan aku ingin sekali menonjok wajah sok tampan itu.
“Maaf, Na. Aku sengaja karena hidup sederhana memang menyenangkan. Lagipula, anggap saja ini bagian dari ujian untukmu. Biar kamu mencintaiku bukan karena harta yang kumiliki,” terangnya yang entah mengapa malah membuat Bapak, Ibu dan Kak Friska takjub.
“Motor itu juga aku pinjam dari salah satu karyawanku. Soalnya lebih leluasa make motor, sih. Bisa membaur dengan nyaman juga sama orang,” lanjutnya. “takdir itu unik, ya, Na. Aku berharap dapat seorang pendamping yang menerima apa adanya, dan ternyata Tuhan mengabulkan pesanan takdirku.” Dion meraih kedua tanganku dengan penuh bahagia.
Tapi, aku menyambut dengan melayangkan tiga pukulan tepat di dadanya, hingga Dion mengaduh. “Unik apanya, Dasar jahat! Aku hampir aja ngajak kamu kawin lari, tau gak!”
Meski kesal karena Dion berbohong soal jati dirinya, aku juga merasa lega. Cinta tulusku mendapat balasan sempurna. Tuhan memang punya rencana tak terduga.
End.
Mentari perlahan merangkak turun ketika Dion menepikan motor Astrea-nya di dekat pohon beringin. Setelah itu, dia turun, tak lupa melepas helm berstiker Spongebob. Cahaya jingga menyiram sisi kiri tubuh jangkungnya yang dibalut kaus oblong warna abu-abu, menciptakan siluet dan mempertegas pahatan-pahatan di wajah tegasnya.
Langkah Dion lebar, tetapi tidak terlalu cepat dan seperti berkekuatan besar sehingga menyedot perhatian anak-anak yang sedang membaca buku di Rumah Membaca kami, aku pun ikut-ikutan menoleh untuk mempertemukan pandangan dengan si pemilik manik sehitam jelaga tersebut.
“Kak Dion!” anak-anak serempak menggaungkan namanya, lantas menghambur, meninggalkan buku-buku yang berserak dengan halaman terbuka.
“Hai, semuanya!” Dion memasang wajah bersalah sebelum melengkungkan senyum manakala melihatku mendekat.
“Kamu telat,” kataku seraya bersedekap. Kemudian, segera memalingkan muka ke arah lain untuk menghindari tatapannya.
“Sorry, ya. Tadi ada urusan sedikit.” Dion menjelaskan. Aku tahu, itu adalah alasan klasik tiapkali dia terlambat.
Mungkin Anda Suka - Cerita Cinta Jarak Jauh Menyakitkan Hati
Akan tetapi, anak-anak berbaju kumal itu tampak tidak terlalu peduli, dan tetap mengerubungi Dion. Mereka mulai berceloteh entah tentang apa dan tentu saja, Dion selalu menjawabnya dengan senang hati. Melihat itu, membuat mataku sedikit memanas. Ada semacam ketenangan yang menghuni dadaku tatkala menyaksikan keakrabannya dengan anak-anak di pemukiman kumuh di pinggir kota ini. Dan kedamaian itu entah mengapa menghantarkanku pada memori lima tahun silam.
Sebenarnya, itu perjumpaan tanpa sengaja. Aku baru pulang dari Rumah Membaca ketika hujan mengguyur tanpa permisi. Mau tak mau aku pun berteduh di sebuah halte. Aku tidak sendirian, ada seorang cowok di sana, memakai baju kaus dan celana jeans yang sobek di bagian lutut, dia duduk sembari menatap milyaran air yang mengecupi Bumi. Mulanya, kukira dia sosok yang jahat. Namun, aku keliru. Sebab, setelah itu kami malah mengobrol hangat. Apalagi setelah mengetahui bahwa dia ternyata pecinta buku.
Dion orang yang sangat ramah lagi bersahaja, baik dari sisi penampilan maupun tutur kata. Kemanapun pergi, Dion selalu memakai kaus lengan pendek dan sandal jepit swallow merah. Dia juga senantiasa ditemani motor Honda Astrea yang baut KB-nya copot sebelah dan joknya sedikit sobek di bagian ujung. Pernah suatu hari, aku menyuruhnya mengganti jok dengan yang baru agar dia tidak kebasahan bila musim hujan datang. Akan tetapi, jawaban Dion membuatku kehabisan kata-kata.
“Aku lebih senang membelanjakan uang kerja kerasku untuk hal-hal bermanfaat, Na.” Begitulah kira-kira yang dia ucapkan. Aku hanya diam mendengarnya, dan diamku tanpa dicegah menghantarkan getaran rasa yang mendebarkan. Begitu juga yang terjadi dengan Dion.
****
Aku berdiri di samping pohon beringin, bersisian dengan Dion. Anak-anak telah pulang ke rumah masing-masing lima belas menit yang lalu dan itu kami manfaatkan untuk menikmati senja yang kian menua. Memandang semburat merah dan jingga dari sini sungguh berbeda.
“Makan, yuk,” tawar Dion menyodorkan helm padaku.
“Ke tempat yang biasanya?” tanyaku sedikit gugup. Terlebih ketika mataku tak sengaja menangkap senyum manisnya itu.
Cowok jangkung itu terkekeh. “Bukan, ikut aja. Dijamin ga nyesel!” ungkapnya seraya mengedipkan sebelah matanya.
*****
Dion menepikan motor di dekat padagang kaki lima. Aroma kaldu sapi menjajah indera penciuman, membuat perutku seketika mengumandangkan suara lapar. Segera saja aku turun dan menyusul Dion.
“Sini aja, Na,” titah Dion seraya menarik kursi plastik untukku. Setelah itu, dia menghampiri pria paruh baya dengan handuk tersampir di bahu. Terdengar suara Dion saat memesan dua mangkok bakso dan teh botol.
“Bakso Kang Ujang enak banget loh, Na. Makanya aku ngajak kamu ke sini.” Dion berkata mantap.
Sementara, aku hanya terkikik kecil kemudian mengalihkan pandangan ke kiri. Dion memang selalu bisa mencairkan suasana. Itu membuat rasa di dada kian membiak, membelukar dengan cepat. Apalagi ketika Dion bilang ke Kang Ujang kalau aku calon isterinya.
“Na, kamu malu gak punya pacar kayak aku?” tanya Deon begitu pesanan sampai.
Aku yang hendak menuangkan kecap ke mangkok, seketika berhenti dan menoleh ke arahnya.
“Kamu kok ngomong begitu?”
Deon hanya terkekeh, gigi putihnya berbaris merata. “Ya, kali aja kamu malu. Secara, aku ‘kan selalu bawa motor butut ke mana-mana.” Samar, dapat kutangkap kesan percampuran sinis dan sedih di wajah tegas tersebut.
“Terus, kamu juga berasal dari keluarga berada.”
“Yang kaya, ‘kan, keluargaku. Bukan aku.” Kuhela napas panjang. “Lagian aku cinta karena kamu punya attitude baik, kok—eh?” segera kubekap mulut dengan kedua tangan. Sedangkan Dion di sebelah, asik terpingkal-pingkal.
“Aku juga, Na.”
Sialan, wajahku terasa panas dibuatnya. “B-bukan itu—“
Tak ingin aku terlalu lama menahan malu, Dion memotong cepat. “Ya udah, sekarang kita fokus makan. Abis itu, aku antar kamu pulang, ya.”
*****
Sepanjang perjalanan, aku hanya membisu dengan sekujur tubuh membeku bagai dihantam badai salju. Sedangkan Dion tetap bersikap seperti biasa bahkan ketika tiba di depan rumahku.
“M-makasih,” kuserahkan helm padanya. Namun, kutarik kembali sebelum dia berhasil meraihnya. “Kapan ketemu Ibu dan Bapak?”
Dion mengusap puncak kepalaku lembut. “Kalau sudah waktunya nanti, aku pasti datang.” Setelah itu, pria berhidung tinggi dengan pandangan yang dalam itu pun pamit. Deru motornya lenyap begitu berbelok ke luar gang.
“Cie ... yang diantar sama Mas Astrea.”
Aku berdecih pelan, lalu membalikkan badan. Mempertemukan pandang pada Kak Friska yang berdiri di ambang pintu.
“Kamu mau gak kukenalin ke bosnya pacarku? Dia masih muda, kok, Na—“
“Dengar ya, Kak Fris.” Kutekan tiap kata yang keluar. “Daripada ngurusin takdir orang, mending Kakak fokus ke Alex yang tukang selingkuh itu.” Usai berujar demikian, kuhentakkan kaki masuk ke rumah, bunyinya menggema seakan-akan menggambarkan segala emosi yang berjejalan di kepala.
Memang, sudah beberapa kali Kak Fris menyuruhku untuk berkenalan dengan teman-temannya yang katanya kaya dan punya potensi untuk membahagiakan tujuh turunan. Namun, aku entah mengapa tidak pernah tertarik dengan hal tersebut.
“Kamu itu udah 24 loh, Na. Bentar lagi memasuki zona siaga 1. Nanti malah jadi perawan tua,” susul Kak Friska di belakang.
Artikel Lainnya - Cerita Cinta Tak Terbalas, PHP Saja Sedih
Entah sejak kapan Bapak sudah duduk di kursi sembari membaca buku, bersuara. “Laki-laki itu yang dipegang adalah omongannya, Na. Bapak hanya ingin melihat seberapa serius dia sama kamu. Bapak enggak terlalu mempermasalahkan latar belakang pekerjaannya. Tapi, sebagai orang tua, bapak ingin kamu hidup berkecukupan.”
Perkataan Bapak seperti mengaduk-aduk perutku dengan cepat, membuat bakso yang dimakan tadi seolah hendak melesak keluar. Kutelan ludah lamat-lamat. “Nana pasti bawa Dion ke sini, Pak.”
“Bagus,” ujar Bapak. “Kalo dia ga mau, kamu bapak jodohkan ke temannya friska minggu ini.”
Aku merasa kepalaku melayang.
*****
Berhari-hari aku dirundung gelisah. Batinku nelangsa, kegiatan Rumah Membaca berubah menjadi rutinitas hampa yang membosankan. Kehadiran Dion juga tidak banyak membantu ketenangan. Yang ada malah kian menjadi.
Jadi, kuputuskan untuk mendesaknya—tentu dengan sedikit ancaman klise bahwa aku akan dijodohkan dengan pria kaya minggu ini jika Dion tidak segera datang ke rumah ‘tuk menghadap Bapak.
Tapi, lagi-lagi jawaban yang kudapat hanya nanti. Nanti. Nanti.
“Kamu percaya sama aku, ‘kan, Na?” tanya Dion.
Aku mengangguk cepat. Berusaha mengenyahkan setitik keraguan di hati. Kami telah saling mengenal selama bertahun-tahun. Jadi, perihal percaya adalah benda penting yang dipegang kuat-kuat.
****
Aku meremas-remas gamis mocca yang membalut tubuh. Pandanganku tertunduk pada teh di dalam cangkir yang tampaknya mulai mendingin, terlihat dari semakin menipisnya uap yang tadi menari-nari. Sekujur tubuhku dibanjiri keringat dingin. Sedangkan kesepuluh jemari gemetaran, memencet layar ponsel tak sabar. Sejak tiga hari yang lalu, Dion bagai ditelan Bumi. Ke semua media sosialnya tidak aktif, membuatku dirundung gelisah setengah mampus!
“Oke-oke, kami tunggu ya, Pak.” Kak Friska mengangguk-angguk, sebelum menutup teleponnya.
“Gimana, Fris?” tanya Ibu dan Bapak serempak.
Kak Friska tersenyum lebar. “Udah masuk gang. Bentar lagi nyampe.” Kemudian, gadis yang setahun lebih tua dariku itu mendekat.
Aku berpura-pura sibuk menghubungi nomor Dion yang sialnya selalu berada di luar jangkauan.
“Udah, Na. Ikhlasin aja. Kakak jamin, kamu bakalan bahagia sama bos kakak ini. Dia baik, terus soleh, bos besar lagi. Paket komplit, deh.”
Lanjut Baca - Cerita Cinta Masa SMP Tak Terbalaskan
Belum sempat menyanggah, aku terkejut mendengar suara-suara mobil di depan rumah. Kak Friska dan kedua orang tua kami segera berjalan ke luar. Meninggalkanku yang memucat. Haruskah aku diam-diam lari dan menyusul Dion di kosannya? Ah, tidak. Itu namanya cari mati!
Aku terlalu sibuk dengan berbagai spekulasi sehingga tidak sadar kalau orang yang akan dijodohkan itu ternyata sudah berdiri tepat di hadapanku. Kuulangi, tepat di hadapanku!
“Ahem,”
Perlahan, aku mendongak kaku. Bagai mesin berkarat yang kekurangan pelumas.
“DION?!” sepasang mata sehitam jelaga milikku membeliak menatap sosok yang begitu memesona dengan tuksedo hitam dan tatapan teduh.
“Surprise,” katanya menyeringai kecil.
“Loh? Bapak kenal adik saya?” tanya kak Friska sembari mengernyitkan dahi.
Dion mengangguk. “Sudah sejak lama.” Dia menekankan kosa kata terakhir.
“Jadi kamu selama ini bohongin aku?!” pekikku dengan mata berkaca-kaca. Dion seketika terkekeh, sedangkan aku ingin sekali menonjok wajah sok tampan itu.
“Maaf, Na. Aku sengaja karena hidup sederhana memang menyenangkan. Lagipula, anggap saja ini bagian dari ujian untukmu. Biar kamu mencintaiku bukan karena harta yang kumiliki,” terangnya yang entah mengapa malah membuat Bapak, Ibu dan Kak Friska takjub.
“Motor itu juga aku pinjam dari salah satu karyawanku. Soalnya lebih leluasa make motor, sih. Bisa membaur dengan nyaman juga sama orang,” lanjutnya. “takdir itu unik, ya, Na. Aku berharap dapat seorang pendamping yang menerima apa adanya, dan ternyata Tuhan mengabulkan pesanan takdirku.” Dion meraih kedua tanganku dengan penuh bahagia.
Tapi, aku menyambut dengan melayangkan tiga pukulan tepat di dadanya, hingga Dion mengaduh. “Unik apanya, Dasar jahat! Aku hampir aja ngajak kamu kawin lari, tau gak!”
Meski kesal karena Dion berbohong soal jati dirinya, aku juga merasa lega. Cinta tulusku mendapat balasan sempurna. Tuhan memang punya rencana tak terduga.
End.
Post a Comment for "Cerita Cinta Orang Kaya Pura Pura Miskin"